www.faktajember.com – Sungguh mengejutkan! Pada awal tahun 2023 ini banyak pekerjaan rumah bagi Kabupaten Jember. Mulai dari tingginya angka perceraian, ribuan pengajuan dispensasi nikah yang bikin Jember bertengger di posisi kedua terbanyak se-Jawa Timur.
Belum lagi maraknya peredaran dan penggunaan narkoba, hingga menjadi kabupaten yang tertinggi se-Tapal Kuda terkait angka kriminalitas anak.
Merujuk dari data Balai Pemasyarakatan (Bapas) Jember, tahun 2021 kriminalitas anak di Jember mencapai 94 anak dengan 29 perkara dan berada di peringkat 2 se-tapal kuda.
Tahun 2022 tingkat kriminalitas anak naik menjadi 140 anak dengan 68 perkara. Angka ini menempatkan Jember pada peringkat pertama kriminalitas anak se-Tapal Kuda.
Kebanyakan mereka terjerat kasus pidana okerbaya, kejahatan seksual, dan kekerasan.
Menurut Agus Wahyu, Pekerja Sosial pada Dinas Sosial Kabupaten Jember, faktor yang melatarbelakangi anak-anak melakukan tindak pidana di Jember karena pola asuh dan lingkungan pertemanan.
Artinya kebanyakan anak-anak tersebut memiliki keluarga yang tidak lengkap dan broken home. Bahkan ada Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang perekonomiannya tergolong mampu namun dia melakukan tidakan kejahatan karena terpengaruh lingkungan.
Sedangkan Untung Riwayadi, Pembimbing Kemasyarakatan pada Bapas Jember, mengatakan bahwa walaupun peradilan anak berbeda dengan orang dewasa, bukan berarti anak-anak yang melakukan tindak kriminal bebas begitu saja.
Akan ada proses diversi bagi para ABH dan tetap masuk ke pengadilan. Proses diversi bagi ABH ini anak di atas 12 tahun dan di bawah 18 tahun.
Dalam diversi tersebut, putusan untuk ABH terbagi lagi dalam beberapa kelompok, seperti pelayanan masyarakat, lembaga sosial, kembali ke orang tua, atau ganti rugi sesuai dengan persetujuan keluarga tersangka dan korban.
Diversi Mensolusi?
Saat kejahatan anak terjadi, para pakar dan aktivis perlindungan anak terpaku pada cara untuk melepaskan anak dari jerat penjara.
Mereka beralasan bahwa penjara bukanlah tempat yang layak bagi anak. Dengan paradigma ini, prinsipnya adalah anak tidak boleh ditahan.
Penahanan hanya bisa dilakukan ketika anak melakukan tindakan yang ancaman hukumannya di atas tujuh tahun penjara atau lebih.
Di bawah ancaman hukuman itu, anak tidak boleh ditahan, apa pun alasannya. Kalaupun ditahan, tempat penahanannya harus di tempat pembinaan anak, bukan ruang tahanan orang dewasa. Apalagi digabung dengan tahanan dewasa lainnya.
Apabila mengkaji lebih dalam tentang paradigma ini, ternyata jauh dari kemampuan menyelesaikan masalah.
Paradigma melindungi anak dari trauma penjara tidak akan mungkin mengurangi jumlah pelaku kejahatan anak. Bahkan boleh jadi akan menambahnya karena tidak adanya efek jera yang bisa dimunculkan.
Paradigma ini semestinya diganti dengan paradigma untuk melindungi anak dari terjerumus dalam kejahatan, sehingga ia tidak perlu menerima hukuman, apa pun bentuknya.
Oleh karena itu, perlu adanya analisis berbagai penyebab terjadinya kejahatan anak, baru merumuskan solusi.
Akar Masalah Kriminalitas Anak
Sebagian pihak menuding bahwa penyebab kejahatan anak ini adalah kemiskinan dan kerusakan moral di kalangan anak. Meskipun pada faktanya, kemiskinan dan kerusakan moral juga hanya akibat.
Kemiskinan yang terjadi di negeri ini akibat tata kelola ekonomi yang salah. Sumber daya alam diserahkan kepada segelintir orang bermodal besar, bahkan dijual ke para investor asing.
Rakyat sebagai pemilik sah kekayaan itu hanya bisa menonton betapa tanah mereka dikeruk, kekayaan alam mereka diangkut, dan mereka harus puas dengan mendapat sedikit remah-remahnya.
Inilah sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan oleh hampir semua negara saat ini, tak terkecuali Indonesia.
Belum lagi invasi budaya asing yang juga sangat masif masuk di negeri kita. Tuntutan pergaulan, mode, gaya hidup, dan lainnya telah menjadikan banyak anak dan remaja tidak mampu berpikir rasional dan berusaha mengambil jalan pintas mendapatkan segala keinginan mereka.
Ada paham kebebasan (liberalisme) semakin membuat anak-anak dan remaja mengalami dekadensi moral yang luar biasa. Sementara itu, masyarakat kian permisif, membiarkan individu melakukan apa saja dan mengabaikan fungsi kontrol sosial.
Sekolah juga tidak mampu menjadi pendidik bagi anak. Jam pelajaran agama yang pas-pasan, habis untuk sekadar teori dan hafalan, tidak cukup untuk membangun kepribadian yang baik bagi anak.
Begitu pula pendidikan budi pekerti, yang disampaikan hanya dalam batas teori, tidak cukup untuk memotivasi anak memiliki akhlak mulia.
Keluarga yang digadang-gadang menjadi benteng terakhir ternyata tidak luput dari kerusakan. Kesibukan orang tua, termasuk ibu yang ikut bekerja, membuat anak tidak terpantau dengan baik perkembangan moral dan agamanya.
Di satu sisi proses perusakan anak justru banyak berlangsung di lingkungan yang paling dianggap aman ini. Perusak itu bisa jadi televisi, gadget, internet, majalah, komik, dan sebagainya.
Dengan demikian, merebaknya kejahatan anak bukanlah disebabkan satu faktor saja, melainkan banyak faktor.
Mulai dari tatanan individu, masyarakat/sekolah dan negara membutuhkan sinergitas secara sistemik agar kriminalitas anak bisa ditekan bahkan dihilangkan.
Sebab fitrahnya dunia anak itu dunia yang menyenangkan dan di tangan merekalah nasib negara ini dipertaruhkan.
Islam sebagai sebuah sistem yang sempurna yang berasal dari Sang Pencipta manusia ternyata telah memberikan solusi integral dalam masalah kejahatan anak.
Islam mewajibkan negara untuk menjamin setiap warga negara terpenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Dengan jaminan seperti ini, para ayah diberikan kesempatan kerja untuk mencukupi nafkah keluarga. Para ibu dikembalikan kepada fungsi utamanya sebagai pendidik anak-anak di rumah sehingga bisa berkonsentrasi mencetak anak-anak yang berkualitas dan mengawasi anak dalam penggunaan gadget dan berbagai media.
Begitu pun negara, akan membentengi akidah dan akhlak anak dengan melarang peredaran miras, narkoba, produk-produk yang bermuatan pornografi, dan seluruh pemikiran sesat yang merusak.
Negara pun menjamin pendidikan berkualitas bagi anak dan seluruh warga untuk membentuk akidah, kepribadian, dan karakter keilmuan berlandaskan Islam.
Dengan terintegrasinya mekanisme pencegahan dalam sistem Islam ini, diharapkan kasus-kasus anak pelaku pidana dapat dicegah sedari awal.
Paradigma solusinya bukan lagi cara menghindarkan anak dari hukuman ketika ia melakukan tindak pidana melalui mekanisme diversi, melainkan paradigma mencegah anak melakukan tindak pidana. Wallahualam.
Penulis : Laily Ch. S.E., Pemerhati Sosial