PEMERINTAHAN POLITIK

Sanksi Gubernur Bagian Politik Pilkada

faktajember.com

Jember Kota – Sanksi yang diberikan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dipahami Bupati Jember Faida sebagai fenomena politik.

“Bagi saya, saya pahami itu karena bupati adalah jabatan politik. Jadi ada risiko politik di tahun politik,” kata Faida, Kamis, 10 September 2020.

Sebagaimana diketahui, Gubernur Jawa Timur memberikan sanksi kepada Bupati Jember atas keterlambatan penyusunan Perda APBD tahun anggran 2020.

Sebagai bakal calon pasangan bupati dan wakil bupati melalui jalur perseorangan dalam Pilkada tahun ini, Faida sangat paham risiko tersebut. Faida berpasangan dengan pemuda sukses Dwi Arya Nugraha Oktavianto.

“Saya paham risiko itu, dan saya ambil risiko tersebut,” tegas perempuan yang pertama menjadi Bupati Jember ini.

Perempuan yang berlatar belakang dokter itu tidak ambil pusing dengan sanksi tersebut.

Baginya, hal terpenting adalah APBD Kabupaten Jember tahun 2020 bisa dijalankan meski tidak didok oleh DDRD Kabupaten Jember.

APBD Jember tahun anggaran 2020 dijalankan menggunakan peraturan bupati. “Kita bisa menggunakan perkada karena sudah ada peraturannya,” jelasnya.

Pemakaian instrumen hukum peraturan bupati tersebut, menurut Faida, untuk menyelamatkan kepentingan rakyat dan karena tidak boleh seorang pun menyendera APBD Kabupaten Jember.

“Karena sejatinya yang disandera adalah hak-hak rakyat,” tandasnya, seraya kembali menegaskan hal terpenting adalah APBD bisa digunakan untuk rakyat Jember.

Ditanya lebih jauh apakah artinya dewan melakukan penyanderaan APBD 2020, Faida membenarkan.

Ia jelaskan,  dengan tidak membahas KUA PPAS (Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara)  artinya menyendera hak-hak rakyat.

Hal yang sama terjadi pada APBD tahun anggaran 2021. Rancanganya sudah disampaikan ke DPDR Jember pada minggu kedua bulan Juli 2020.

Baca Juga :  61 Orang Diperiksa Bawaslu Termasuk Bupati Jember, Terkait Dugaan Pelanggaran Pemilu

“Kenyataannya,  sampai hari ini pun tidak dibahas oleh DPRD.  Itu artinya bukan tidak tepat waktu, tapi karena memang DPRD tidak mau membahas,” ucapnya.

Apabila terjadinya perbedaan persepsi antara dewan dengan eksekutif, tidak bisa menjadi alasan untuk tidak membahasnya.

Perbedaan persepsi, bagi Faida merupakan hal biasa. Namun, hal itu tidak bisa menjadi alasan untuk menyandera kepentingan rakyat.

“Kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya,” tegasnya. (achmad)

Bagikan Ke: